Gw menghempaskan diri di kursi keras bandara, duduk disampingnya.
“Jadi nanti lo beli nomer dari provider sana?” Tanya gw retoris.
“Iya dung. Nomer as gw mana bisa dipake disana.” Jawabnya datar, sambil berulang-ulang ngecek passport, tiket, visa, fiskal dan lain-lainnya. “Eh liat deh! Ini nih yang namanya visa.” Dia menunjukan lembaran di dalam passportnya sambil berkata dengan nada geli. Tak urung gw juga ikutan geli.
“Jadi itu tuh yang lo kejar berminggu-minggu?”
“Iya, tanpa ini gw ga bisa berangkat.”
Gw pernah sekali nemenin Dia dan Ade, temen seperjuangannya di Ostrali, buat ngurus visa, tiket, dll. Dan gw cukup capek mental sekaligus makan ati jalan jauh-jauh ngadepin kemacetan Jakarta cuma buat ditolak, dan diberi informasi singkat kalo visa mereka belum jadi.
Sedangkan mereka? Berkali-kali ngalamin yg kayak gitu. Nggak bisa dipungkiri kalo gw salut banget sama mereka. Mungkin memang ini cara Allah mengajarkan kesabaran dan keikhlasan kepada mereka berdua, batin gw dalam hati. Karena nggak ada yang tahu, pengalaman baru dan petualangan seru kayak apa yang bakal mereka temui nanti.
Gw masih memandangi dia. “Ahh, betapa sayangnya Allah sama elo, Say.” Gw berbisik,sangat pelan.
Gw jadi inget kisahnya Aditya Mulya , one of my fav author, yg ada hubungannya sama visa. Ketika dia lagi harus ke Abidjan, Pantai Gading, Afrika, untuk urusan kerjaan, satu-satunya kedutaan Pantai Gading terdekat Cuma di Jepang, dia nekat berangkat nggak pake visa, Cuma pake semacam free pass aja dari imigrasi paris.
Lewat imigrasi di Sukarno-Hatta dia dibolehin lewat, jumawa. Di imigrasi paris juga gitu, masih dibolehin lewat, makin jumawa. Nah, pas mendarat di Pantai Gading, dia dipenjara. Hwahahahah…
“Dadaah,” Ujarnya tiba-tiba membuyarkan lamunan gw, sambil tersenyum sangat lucu. Pipinya berubah jadi empat. Uuh, I’m gonna miss that smile.
“Apa sih?” Gw bercanda sambil berusaha mencubitnya.
Dia kembali ngecek printilan-printilan yang dibawanya di tas. Dan gw kembali menatapnya. Tercabik antara ketidakinginan umtuk mengganggunya dan keinginan mengatakan semua yang ada di dalam hati ini.
Lima detik tatapan yang tulus lebih berarti dari lima menit kata-kata. Kayanya gw pernah denger ada yang bilang gitu, siapa ya?
Siapapun yang bilang itu, gw lagi ingin membuktikan kebenaran kata-katanya. Gw berusaha mengkonversi kata-kata gw menjadi tatapan, kemudian mentransfernya melalui pandangan mata. Gagal! Dia masih sibuk sendiri.
Gw memakluminya dengan tersenyum. Pasti pikirannya dipenuhi ekspektasi tentang pengalaman baru. Wajar lah. Batin gw, menghibur diri. Maka gw pun cuma mengucapkan semuanya dalam hati.
Makasih udah mau sama gw
Makasih udah mewarnai hari-hari gw
Makasih uda begitu perhatiannya sama gw
Makasih coklat-berbentuk-hati-yang-lo-kasih-tanggal-10-Feb
Makasih karena selalu rewel setiap gw sakit
Makasih udah jadi motivator gw bahkan tanpa lo sadar
Makasih telah membuat gw jadi orang yang visioner dalam menjalani hidup
Dan
Maaf, gw belum bisa jadi cowok yang ideal buat lo
Maaf, atas kecuekan gw
Maaf, karena gw sering sok sibuk
Maaf, sering mangabaikan perhatian lo
Maaf, karena gw ketidak sensitifan gw
Maaf, suka buat lo khawatir
Maaf, sering bikin lo deg-degan kalo berkendara bareng gw
Maaf, karena gw belum punya apapun untuk dibanggakan
“Udah waktunya nih.” Suara Ade membuyarkan lamunan gw. Dia berdiri, lalu menghampiri orang tuanya. Pamit.
“Pulang lagi nggak ntar?” Tanya nyokapnya bercanda.
“Ya iya dong maa…”
“Nggak usah pulang deh. Di Indonesia susah. Tinggal disana aja.”
“Yaaah, jangan dong, Tante.” Gw yang panik. “Nanti saya sama siapa?” Semuanya ketawa. Ade pamit sama semuanya sambil nangis, termasuk sama gw. Dia? Cuma cengengesan ngeliat ini semua. Setelah itu menggandeng kopernya untuk check in.
This is it… This it the time. Gw pandangi dirinya yang makin menjauh. Ketika akhirnya kita dibatasi sekat kaca…
“Lain kali jangan ya…” Gw berkata lirih, lebih ke diri gw sendiri. “Jangan pergi tanpa pamit gitu, seolah gw bukan siapa-siapa.” Dan gw pura-pura menguap, kemudian mengusap mata gw yang berair. Sebagian karena ngantuk habis semalaman di bandara, sebagian lagi karena…
Ahh, pokoknya boy’s don’t cry.
ConversionConversion EmoticonEmoticon