Cerpen = Cerita (gak) Penting

Permisiii... Maaf mengganggu hari seninnya Sobat Muda. Semoga gak lagi pada misuh2 gara2 monday blues yg bisa bikin mood swing tak terkendali. Tapi kalopun iya mudah2an sedikit tulisan tangan di masa lalu, hasil ngais2 harddisk komputer di rumah, bisa me-refresh :)

----------

BRAKK!!

Tanpa pikir panjang aku segera pergi meninggalkan ruang tamu rumahku dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubun, di sudut mataku sempat terlihat wajah ayah yang merah menahan amarah dan nafasnya yang tersengal-sengal, sambil tangan kanannya mencengkram bagian kiri dadanya. Rupanya usahaku untuk menghentikan dampratannya dengan menggebrak meja telah membuatnya sangat shock.

Huh!! Peduli setan dengan kesehatannya. Masih untung tidak kubuat mampus di tempat orang tua itu. Di tengah kebimbanganku karena tidak mendapat yang kubutuhkan, aku memilih pergi keluar rumah.

GUBBRAKK!! Bunyi pintu yang kubanting memekakan telinga dan menggetarkan kaca jendela depan rumah. Kutendang pagar keras-keras sampai menjeblak terbuka. Konsumsi narkoba secara berlebihan selama bertahun-tahun hampir membuat indra perasaku putus. Karena aku nyaris tidak merasakan sakit di kakiku walau pun darah menetes dari jempol kakiku.

Mampus! Habis sudah. Batinku dalam hati. Enggak mungkin aku dapat pasokan barang lagi kalau begini. Semua barang yang ada di kamar sudah habis terjual, minta uang sama ayah… sudah jelas hasilnya…

Tubuhku gemetar, antara kedinginan dan tuntutan tubuhku yang meminta barang haram itu. Sambil berjalan sedikit sempoyongan, karena masih tersisa pengaruh alkohol dan obat yang habis kupakai, aku melangkahkan kakiku menuju halte di ujung gang.

Mungkin ada satu atau dua orang di halte yang bisa kupalak dan uangnya kugunakan untuk membuatku fly, setidaknya untuk malam ini. Pikir otakku yang sudah terkontaminasi racun itu menelurkan ide busuknya.

Sesampai di halte yang sepi, karena hari memang sudah cukup larut, aku mendatangi dua orang remaja yang sedang bermain gitar. Setengah sadar aku mengenali keduanya sebagai anak-anak remaja kampung belakang yang biasa nongkrong di halte ini atau di lapangan bulutangkis belakang rumahku.

Tanpa dua kali berpikir aku mendekati keduanya dan mencengkram kerah leher salah satu dari dua pemuda itu.

“Woi, gue butuh duit nih. Gue tau lu punya, jadi jangan pake banyak cincong kalau lu mau selamet.” Ancamku dengan suara serak yang sengaja kubuat marah, untuk membuatnya takut tentunya. Salah satu dari kedua pemuda itu kabur tanpa sempat kucegah, biarlah, toh dengan tenaga hampir tanpa sisa ini aku tak kan kuat mengejarnya. “Ayo cepet keluarin duit lu!!” ancamku lagi masih dengan tampang kubuat seram, walaupun sebenarnya itu tidak perlu. Wajah belerku yang setengah sadar pasti sudah cukup membuatnya mengkeret.

“Eng…enggak Bang, saya ka… kagak punya duit.” Ujarnya memelas dengan terbata-bata.

“Jangan bohong lu!! Tadi gue liat temen lu megang rokok. Emang tuh rokok dibeli pake daun pisang HAH!!”

“S…su…sumpah Bang, saya kagak punya du…duit.”

Disaat tanganku bergerak hendak menghajarnya, kesakitan yang luar biasa menderaku dengan sangat. Serasa ribuan benda tajam menyayat setiap senti kulitku, aku rebah ke lantai halte tanpa sempat mempedulikan pemuda yang tadi kupalak. Uang tidaklah penting sekarang, yang penting aku butuh barang. Gawat!! Pikirku kalap. Aku sakaw.

AAAAAAH!! Mulutku terbuka dalam teriakan tanpa suara. Telingaku tuli dan kepalaku hampir pecah. Rasanya seperti ada pesawat jumbo jet yang hendak landing hanya beberapa senti di atas tubuhku. Usus-usus di perutku seperti diiris-iris dengan belati paling tajam dan jantungku berdetak keras tidak beraturan memprotes kerjanya yang mendadak harus ekstra keras.

“ITU DIA ORANGNYA! HAJAR…!!” Di sela-sela kesadaranku yang paling tipis aku mendengar suara orang berteriak tidak jauh dari halte. Ini hal terakhir yang aku inginkan disaat tubuhku merengek meminta asupan barang haram tersebut. Pemuda yang kubiarkan lari tadi telah kembali membawa teman-temannya.

JLEBB!! Sebuah tendangan mendarat persis di perutku, yang membuat sakit di perutku menjadi berkali-kali lipat. Tapi belum sempat aku merasakannya lebih jauh, rentetan pukulan dan tendangan menyusul.

“Mampus lu!! Makan nih!!” hujan makian dan sumpah serapah mengiringi tinju-tinju dan tendangan yang mendarat di sekujur tubuhku.

Lari!! Satu kata yang tertanam di otakku yang hampir meledak. Tanpa pikir panjang aku menggerakkan tangan dan kaki untuk menghindari tinju dan tendangan yang masih menerpaku. Dengan sisa tenaga yang ada aku menyeruak lingkaran pemuda yang mengeroyokku dan lari secepat kaki kurusku mempu.

Dengan sedikit lirikan aku tahu mereka tidak berniat mengejarku, karena mereka hanya memandangku dari halte sambil meneriakkan sumpah serapah.

* * *

Aku menyusuri gang-gang sunyi menuju rumah Bang Sanip. Kesakitan masih menggayuti setiap sendi tubuhku. Kulalui langkah demi langkah menuju tujuanku. Obat, ya cuma itu tujuanku.

Aku biasa menemui Bang Sanip di pos ronda ujung gang rumahnya ini, tempat anak-anak kampung sini biasa main gaple sambil mabuk. Bang Sanip adalah bandar yang sering menyuplai pil-pil setan itu untuk kukonsumsi. Dia pula yang pertama kali mencekoki aku dengan memperkenalkanku kepada kenikmatan semu yang melenakan, menjadikannya solusi bodoh atas semua masalahku.

Masih terpatri jelas dalam ingatanku saat kematian ibuku beberapa tahun silam yang membuatku depresi dan putus asa dengan kehidupan ini. Aku memvonis bahwa Allah tidak adil karena memberikanku musibah ini. Seumur hidup hanya Ibu yang bisa membuatku bertahan untuk mengalah kepada ayahku, ayah tiriku tepatnya, karena ayah kandungku meninggal tepat sebulan sebelum aku dilahirkan.

Begitu pula rangkaian peristiwa dan pertengkaran-pertengkarank
u dengan ayah yang membuatku tidak betah di rumah. Lebih parah lagi, aku campakkan semua ajaran agama yang pernah ditanam dalam-dalam di sanubariku oleh Ibu. Ya, seperti anak kecil yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, aku ngambek kepada Allah.

Goncangan batin dan tekanan jiwa yang parah menghantarkanku kepada pertemuan pertama dengan Bang Sanip dan sisa hidupku kujalani dalam kelamnya hidup dalam pengaruh narkotika.

Aku kembali merasakan sakit yang sudah kukenal di sekujur tubuhku, tubuhku kembali menuntut apa yang kubutuhkan, tapi Bang Sanip belum kutemui. Di tengah keputusasaan dan rasa sakaw yang menyiksa, aku melihat seorang pemakai yang sedang fly terbaring di pojok pos ronda tidak jauh dari tempatku berdiri.

Demi memenuhi rasa sakaw yang sudah tak tertahankan lagi aku menggeledah kantung celana dan baju orang itu. Beruntung untukku, kutemukan delapan butir pil hijau di kantung celananya. Sambil nyengir seperti orang tolol kutenggak semua pil itu dan menelannya dengan bantuan air di botol di samping orang itu.

Perlahan-lahan ketenangan menguasai jiwaku, kesakitan yang beberapa jam terakhir ini begitu menyiksaku berangsur menghilang. Aku rasakan kenikmatan disaat semua kepenatan yang ada di kepalaku disapu keluar. Tubuhku terasa ringan dan nyaman, sangat nyaman sampai akhirnya kegelapan total mengurung ruang gerakku dan membatasi pandanganku.

Gelap. Selama beberapa saat lamanya hanya gelap yang kurasakan. Sampai datang dua sosok berjubah putih yang bertanya kepadaku. “Siapa Tuhanmu…??”

------------

Pesan moral : Tentu saja NO DRUGS and NO ALKOHOL. Have a safe life, Sobat.. :)

Pesan sponsor : Besok blog saya available lagi buat umum. Mampir2 yaa... :D

Pesan bakso : Jangan lupa bayar... :P (jayus!)

Salam,
Piss, Love 'n Gayung

Previous
Next Post »
Thanks for your comment