Pesona Para Malaikat di Dasar Luweng

“Ya Allah!” Jerit teman saya, Ugit, sambil makin erat memegang tali yang menggantung kami. 

Saat itu kami sedang tergantung berdua untuk turun ke dasar Gua Jomblang, gua vertikal berkedalaman 60 meter yang terletak di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Saat menjerit tadi tali yang mengikat kami untuk turun dengan Single Rope Technique sedikit mengulur dan membuat merosot sekitar satu setengah meter. Membuat sensasi mencelos di hati, seperti turun dari tangga dan satu anak tangga terlewat tidak kita injak. Mungkin rope operator yang membantu kami di atas sedikit tergelincir. 

“Tumben inget Allah lo. Biasanya sholat aja jarang.” Saya nyengir sambil menggoda. Walaupun aslinya juga kepengen ngompol saking takut talinya lepas. 

Luweng Jomblang
Dalam bahasa Jawa, bentuk gua yang vertikal dan seperti sumur ini disebut Luweng. Dan Luweng Jomblang adalah salah satu dari banyak sekali gua bawah tanah yang ada di daerah Gunung Kidul. Gua ini terbentuk akibat amblasnya tanah di permukaan beserta seluruh vegetasi yang ada di atasnya ribuan tahun lalu. Karena itulah tumbuhan-tumbuhan yang ada di dasar Gua Jomblang termasuk tumbuhan langka karena tidak lagi bisa dijumpai di atas permukaan. 

Karena banyaknya gua di sekitar situ, tidak jarang antara satu gua dengan gua lainnya saling terhubung. Bagitu juga dengan Luweng Jomblang dengan Luweng Grubung, yang dihubungkan oleh lorong gua yang lebar dengan langit-langit tinggi.

Teman Bertualang
Setelah sampai dasar, kami harus menunggu semua anggota rombongan turun sampai ke dasar gua sebelum melanjutkan petualangan. Kebetulan bersama kami yang ikut trip hari itu ada Kyle dan Nerissa Chuang, suami istri asal Taiwan yang sudah lama tinggal di Singapura, serta FX dan Norma Yan, pasangan mahasiswa asal Kanada yang sedang temu kangen karena pacaran jarak jauh. Satu di Kanada, satunya di Singapura. FX sebetulnya punya nama asli yang agak susah diingat, Francois-Xavi… Xaviera… Xavieri… errr… 

“Just call me FX, I know my name’s a little bit complicated to spell for Indonesian,” ujarnya sambil menjabat tangan saya saat berkenalan. 

“Way TOO complicated,” saya mengakui. 

Menuju Cahaya
Setelah semua berkumpul, kami menyusuri dasar gua lebih dalam lagi menuju Luweng Grubug. Jalur yang kami lalui becek dan berlumpur sangat tebal, tapi untungnya pihak cave operator menempatkan batu-batu panjang yang berjajar untuk pijakan. Jika tidak ada niscaya kita akan kesulitan berjalan karena harus melewati lumpur yang membenamkan. 

“It helps a lot, this stone for footsteps,” aku Nerissa. “I don’t know how to walk if there aren’t these footsteps.” 

Meski demikian Nerissa juga mengaku senang dengan kondisi gua yang dibiarkan berlumpur tebal, lembab, dan kotor ini. Sebelumnya Ia dan Kyle pernah mengunjungi gua wisata di Australia dan terpaksa kecewa karena kondisinya sudah banyak “dipermak” untuk memudahkan pengunjung, tapi justru menghilangkan keaslian gua. 

Tidak butuh waktu lama untuk menyusuri lorong penghubungnya, cuma 15 menit. Selama perjalanan cave operator menyalakan beberapa lampu sorot kecil dan menaruhnya di dinding gua agar kita bisa melihat di kegelapan yang semakin mencekam. Harap maklum, kami bukan caver profesional yang cepat adaptif sama kondisi ekstrim gua. 

Lalu dari jauh terdengar suara gemuruh air dan terlihat cahaya putih yang turun membentuk baris cahaya tegak lurus di ujung lorong. Kegelapan cukup pekat hingga cahaya yang masih jauh itu pun cukup menyilaukan. Saya melirik jam tangan yang berpenar karena fluorescent, pukul 11.56, waktu yang tepat untuk melihat Ray of Light dari Luweng Grubug. Kami pun menggegas langkah. Dan ketika tiba, terlihat jelas sinar matahari yang menerobos dari mulut Luweng Grubung. Membentuk tiang cahaya setinggi 90 meter yang menyinari stalagmit yang terbuat dari tetesan jutaan tahun air tanah. Indah. 

Rasanya luar biasa, seolah seperti disapa langsung oleh ribuan malaikat yang turun bersamaan dari mulut gua dengan cahaya putihnya yang menyilaukan. Breath taking scenary. Kami berdiri di atas stalagmit sambil sebelumnya melepas sepatu boot, dan memandang ke sungai bawah tanah yang mengalir di bawah. Sungai ini yang gemuruhnya sudah kami dengar sejak jauh tadi. 

“This is something that we can’t see everyday,” Saya bergumam, lebih kepada diri sendiri daripada FX yang ada di sebelah. 

“Indeed. Maybe this is the first and the last time I can see this beautiful scenery. You have beautiful country, Van. I admit it.” ujar FX, menupuk pundak saya.
Dan mata saya mengembun. Entah karena bangga, atau sekedar tetesan air yang tak sengaja menelusup ke mata.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment