Betawi Krisis Identitas

Kemarin malam di rumah kedatangan Bom-bom dan Eko, dua karib dari jamannya putih biru dan ngeband pake motor pinjeman tumpuk tiga. 

Yes, I sadly confess we used to be terong-terongan once -__-"

Anyway, gak ada yang spesial sih, cuma silaturahmi karena udah lama nggak ngumpul. Nunggu full team sampe Arlan dan Novi bisa gabung bisa keburu tua, makanya mumpung senggang mereka berdua langsung mampir ke rumah sekalian jenguk Biru, anak saya yang baru berumur sebulan.

Ngobrol ngalor ngidul sampe pada akhirnya ngobrolin pencapaian. Di umur yang udah lewat seperempat abad buat kita bertiga ternyata paling berasa lega karena selain sudah berkeluarga, dan punya anak, yang penting juga... punya rumah!

Alhamdulillah, sekitar sebulan lalu saya juga udah akad kredit rumah dan udah mulai bayar angsuran pertama. Eko dan Bom-bom malah sudah lebih dulu punya walapun sama-sama belum ditempati.Selain itu kesamaan lainnya adalah rumah kita sama-sama kecil dan... jauh!

Nah soal jarak ini sebenernya agak bikin gentar. Karena saya dan istri nantinya akan sama-sama kerja, Biru akan diasuh sama neneknya dan dibantu asisten. Tapi yang bikin ketar-ketir adalah kalau ada apa-apa kami akan butuh waktu lama untuk pulang karena jaraknya yang jauh.

FYI, rumah saya di Parung Panjang. Kalau ada yang tanya di mana itu, di BSD, alias Bintaro SONOAN DIKIT.

Ngok!

Ehm, yaa definisi dikitnya masih bisa diperdebatkan sih. Karena alih-alih merujuk pada jarak macam sehasta, setombak, sepelemparan batu atau satuan jarak ala kisanak-kisanak di serial Angling Darma lainnya, ini justru mengacu pada sekian belas kilo ke arah yang google map aja masih belum bisa men-detect, hehehe.

Tapi untungnya dia deket sama stasiun, sekira 2.5 km. Dan perjalanan commuter line paling awal dimulai dari Stasiun Parung Panjang itu. Pas banget karena saya bisa turun di stasiun Palmerah dan Vina di stasiun Sudirman kalau berangkat kerja setiap harinya.

Tapi tetap aja, butuh paling gak 1 jam perjalanan untuk pulang atau berangkat.

Penampakan Calon Rumah Yang Masih Dibangun
Agak miris sih, tapi mau gimana lagi. Harga rumah di daerah Jakarta sudah nggak terjangkau untuk pekerja kerah putih kelas kedua macem kami. Jadi Biru nantinya akan tumbuh sebagai anak Jakarta yang nggak lagi tinggal di Jakarta.

Tapi kalau dipikir-pikir, kalaupun di Jakarta apa dia akan tetap kenal sama warisan budaya Babe dan Engkongnya? Secara semakin metropolitan, Jakarta semakin tidak menampilkan jati dirinya.

Kebudayaan Betawi terlokalisasi secara alami di beberapa tempat saja karena memang cuma di daerah-daerah tertentu tersisa keluarga Betawi yang rela mewakafkan waktunya untuk menjaga budaya Betawi tetap asri. 

Tanjidor nyaris langka kerena semakin sedikit yang bisa memainkan, ondel-ondel harus "ngamen" di jalan-jalan untuk cari uang, tradisi palang pintu pun sekedar cuma seremonial lucu-lucuan saja. Orang-orang Betawi asli pun makin tersingkir ke daerah pinggiran.

Saya khawatir Biru nantinya besar jadi anak Betawi yang krisis identitas, because I'm afraid I already become one. *sigh*
Previous
Next Post »
Thanks for your comment