Kenapa saya pengen jadi pembuat film dokumenter?

Waktu kecil punya cita2 tinggi mah wajar yah, harus malah. Kalo kecilnya aja udah niat jadi tukang pijet gimana gedenya nanti? 

Eh, tapi tanpa bermaksud mengecilkan profesi tukang pijet loh ya... Saya menghargai dan suka kok sama mbok2 tukang pijet... Sungguh, saya suka mbok2 tukang pijet... [err, terdengar seperti saya punya orientasi seksual yang aneh :P]

Ngeniwei, berkaca pada kondisi diri dan teman2 saya pada umumnya, saya hampir meyakini bahwa ketika dewasa gini pasti ada ketidak sinkronan antara cita2 jaman bocah dan profesi yang harus dipilih ketika dewasa. 

Ambil sampel: saya. 

Dulu waktu SD saya punya cita2 banyak dan tinggi2, salah satunya adalah pilot pesawat tempur. Nah, sekarang pas udah dihadapkan pada keharusan memilih profesi mana yang harus saya tekuni, saya justru menjatuhkan pilihan pada: pembuat film dokumenter.


Pasti pada nanya kenapa?

Gini... gini... sebelum saya jawab ada yang tau apakah itu film dokumenter? Apa definisinya? Apa bedanya sama film2 di bioskop?

Kalo ada yang jawab film dokumenter itu kaya yang ada di Discovery Channel atau National Geographic, yup kamu bener Sobat Muda. Film2 di dua channel itu umumnya film dokumenter. Kalo channel dalam negri yang suka menayangkan film dokumenter biasanya Metro TV, malah sampe bikin kompetisi film dokumenter, Eagle Awards Documentary Competition.

Tapi untuk memudahkan pemahaman, kita bandingkan film dokumenter dan film fiksi aja deh, yg biasanya ada di bioskop.

"Film fiksi itu merekayasa kejadian yang nggak ada dan dibuat sedemikian rupa sampe terlihat real, nyata dan terjadi. Sedangkan film dokumenter justru merekam kejadian2 yang nyata dan benar2 terjadi untuk dibuat agar terlihat "drama"-nya."

Got the point? Nah, trus bedanya film dokumenter sama film dokumentasi atau news feature apa?

"Dalam film dokumenter, si pembuat memasukan pendapat dan subyektifitas pribadinya ke dalam film, untuk men-drive opini penonton. Sedangkan film dokumentasi atau news feature hanya memuat fakta2 yg terjadi di lapangan, dan sangat dituntut objektifitasnya. Umumnya mencakup informasi2 seperti 5W & 1H dari kejadian (baca: What, Where, When, Why, Who, How)."

Nangkep?

Kalo dibandingin sama termehek2??? Aduh males jawabnya, masa ngebandingin makanan seenak pizza sama sampah dapur??? :P

Nah, balik ke pertanyaan pertama kenapa saya mau jadi pembuat film dokumenter, ada beberapa alasan:

Pertama, film dokumenter belum memasyarakat di Indonesia. Orang masih sering ketiduran pas nonton film dokumenter dan milih nonton film fiksi, padahal sih film dokumenter bisa juga seru dan terlihat seksi kalo dikemas dengan apik. Karenanya bagi pembuat film masih belum banyak saingan di pasar film dokumenter, kalo bahasa pemasarannya blue ocean strategy. Yaaah, ngeliat dari sudut pandang bisnis boleh dong, hehehe... :P

Kedua, film adalah media yang lebih cepat mempengaruhi penontonnya karena masuk melalui dua indra manusia, yaitu penglihatan dan pendengaran. G30S/PKI adalah salah satu film yg sukses berat membangun opini publik, walaupun bukan film dokumenter dan opini yg dibangun cenderung berat sebelah, tapi itu udah salah satu bukti. Dan kalo sampe nanti ditemuin teknologi yang bisa bikin film berbau juga mah bakalan makin cihuyy tuh media buat mempengaruhi orang :D

Anyway, masih terkait dengan alasan kedua, film dokumenter bisa jadi alternatif tontonan yang bermutu. Ini cukup penting karena bangsa indonesia perlu dicerdaskan, dan diberi alternatif tontonan yang lebih baik dibanding sinetron silat macem 'dendam Nyi Pelet' dan termehek2. 
Silahkan tanya ke Om Gugel atau Tante Wiki berapa banyak penduduk miskin di Indonesia? Dan berapa banyak pemilik televisi diantara penduduk Indonesia tsb? Kalo tayangan2 di stasiun tipi Indonesia kek gini terus lama2 orang Indonesia bukan cuma miskin dari segi finansial, tapi juga miskin ilmu, akhlak, mental, semangat dan lain2nya. Prihatin gak sih?

Ketiga, ini alasan yg paling utama. Mengutip kata2nya Alfred Hitchcock, sutradara terkenal asal Inggris yang lahir tahun 1899: 

"Dalam film fiksi sutradara adalah Tuhan, tapi dalam film dokumenter Tuhan yang jadi sutradara."

Benull sekali Sobat Muda, dalam film fiksi sutradara udah kaya Tuhan, dia bisa matiin yg masih idup dan bisa ngidupin yang uda mati (di film). Bisa bikin malem jadi siang dan bikin siang jadi malem. 

Saya punya guru seorang sutradara dan DOP (Director of Photography) yg pernah bertaun2 jadi penata cahaya sebelum jadi DOP handal kek sekarang. Dan dengan modal sekitar 70an juta untuk nyewa peralatan lighting satu kontainer, dia bisa bikin jalanan di kampung yg gelap gulita jadi terang benerang kaya siang bolong. Sadis ya?

Tapi poin pentingnya buat saya di kalimat keduanya Alfred Hitchcock, kalo dalam film dokumenter Tuhan lah yg jadi sutradara. Pembuat filmnya? Cuma perpanjangan tangan dari Tuhan, untuk disampaikan ke sebanyak mungkin orang. Mirip konsep dakwah ya?

Itulah yg bikin saya tertarik. Bukannya emang udah kewajiban orang2 terbaik untuk menyampaikan kebenaran dan mencegah keburukan (Ali Imran : 110) yahh? Rasulullah aja bilang: "Sampaikan dariku walau satu ayat." (HR. Tirmidzi).

Ini mah pendapat sayah ajah... :)





Previous
Next Post »

2 comments

Click here for comments
habibi
admin
17 Mei, 2010 13:55 ×

semangat yang baik untuk ditiru. .

Reply
avatar
weni
admin
18 Mei, 2010 11:07 ×

tuh kan van,,,tukang pijet,,jadi ga salah klo gw komentarin tweet nya chiqa dgn ngerekomendasiin lo jd tkg pijet heee piisss>
great!!!lanjutkan van...
-wens-

Reply
avatar
Thanks for your comment